Ruju’nya Imam Abul Ma’ali Al-Juwaini Kepada Pemahaman Salaf - Permata Salafus Sholih

Breaking

Meniti Aqidah dan Manhaj Para Nabi dan Salafus Sholeh

Anda diperbolehkan mengkopi paste ayat, hadist dan terjemahannya tanpa menyebutkan sumbernya serta diperbolehkan untuk menyebarkan artikel-artikel di blog ini dengan menyertakan sumbernya, namun anda dilarang menyebarkannya dengan mengeditnya dan mengakui sebagai tulisan anda dengan tujuan komersil atau non komersil

Senin, 23 Januari 2017

Ruju’nya Imam Abul Ma’ali Al-Juwaini Kepada Pemahaman Salaf

Orang yang menetapkan sesuatu yang tidak diketahuinya secara pasti dengan akal, maka dia akan mengalami rasa bingung.  Karena pada hakekatnya, apa yang dia tetapkan itu adalah sangkaan belaka. Hal ini seperti orang yang berjalan di malam hari yang gelap tanpa cahaya, maka dia hanya bisa meraba-raba dan menduga. Pada akhirnya dia akan bingung dan tersesat.

Orang yang menetapkan sifat-sifat dan nama-nama Allah dengan akal semata adalah orang-orang yang gegabah. Mereka menolak sifat-sifat Allah yang  yang ada dalam Al-Qur’an dan hadist yang shohih lalu menta’wilnya atau menafsirkan maknanya kepada makna yang  tidak dikehendaki oleh Allah berdasarkan akalnya, maka dia akan mengalami kebingungan karena dia hanya mengandalkan akalnya yang terbatas untuk menetapkan sesuatu yang tidak diketahuinya secara pasti.

Orang-orang seperti ini, kalau tidak berhati keras, dia akan menyadari kekeliruan dan kesalahannya. Dia  akan merujuk kepada pemahaman para ulama’ salaf dalam memahami nama-nama dan sifat-sifat Allah, yaitu menetapkan sifat-sifat  dan nama Allah sesuai dengan yang ditetapkan oleh Allah dan Rosul-Nya tanpa ta’wil (menafsirkan maknanya kepada makna yang  tidak dikehendaki), ta’thil (menolak sifa-sifat Allah), takyif (Menanyakan bentuk hakekat sifat-sifat Allah) dan Tasybih (menyamakan sifat-sifat Allah dengan makhluk-Nya).

Begitulah yang tejadi pada diri Imam Haromain Abul Ma’ali al-Juwaini. Dia merasa bingung karena tidak menetapkan sifat Uluwwu bagi Allah dan mengingkari bahwa Allah berada di atas Arsy. Imam Adz-Dzahabi menceritakan:

قَالَ مُحَمَّدُ بنُ طَاهِرٍ: حضَر المُحَدِّثُ أَبُو جعفر الهمذاني مَجْلِسَ وَعظِ أَبِي المَعَالِي، فَقَالَ: كَانَ اللهُ وَلاَ عرش، وَهُوَ الآنَ عَلَى مَا كَانَ عليه. فقال أبو جَعْفَر: أَخْبِرْنَا يَا أَسْتَاذ عَنْ هَذِهِ الضَّرُوْرَة الَّتِي نَجدُهَا، مَا قَالَ عَارِفٌ قَطُّ: يَا أَللهُ! إلَّا وَجَد مِنْ قَلْبِهِ ضَرُوْرَة تَطلب العُلُوِّ لاَ يَلتَفِتُ يَمنَةً وَلاَ يَسرَةً، فَكَيْفَ نَدفَعُ هَذِهِ الضَّرُوْرَة عَنْ أَنْفُسنَا، أَوْ قَالَ: فَهَلْ عِنْدَك دوَاءٌ لدفعِ هَذِهِ الضَّرُوْرَة الَّتِي نَجدُهَا? فَقَالَ: يَا حَبِيْبِي! مَا ثمَّ إلَّا الحَيْرَة. وَلطم عَلَى رَأْسه، وَنَزَلَ، وَبَقِيَ وَقت عَجِيْب، وَقَالَ فِيمَا بَعْد: حيَّرنِي الهَمَذَانِيّ.

“Muhammad bin Thohir berkata,’Pernah suatu ketika, ahli hadist Abu Ja’far Al-Hamdzani menghadiri majelis kajian Abul Ma’ali. Abul Ma’ali berkata,’Allah telah ada sedangkan Arsy belum ada, Dia sekarang berada sebagaimana yang dulu.’ Maka Abu Ja’far bertanya’Wahai ustadz, beri tahukanlah kepada kami tentang kepastian yang sering kami jumpai, tidak ada seorang arif pun yang berdoa’,’Ya Allah!’ Kecuali di dalam hatinya terdapat kepastian yang menghendaki sifat ‘uluwwu (ketinggian Allah diatas makhluk-Nya-pent), dia tidak menoleh ke kanan dan ke kiri. Lalu bagaimana cara menolak kepastian ini dari diri kita.’ Atau dia bertanya,’Apakah engkau memiliki obat untuk menolak kepastian yang kami temui ini?’ Maka beliau menjawab,’Wahai kekasihku ! aku bingung.’ Lalu dia menepuk kepalanya, kemudian turun. Waktupun berlalu dengan cepat, di kemudian hari dia berkata,’Al-Hamdzani telah membuatku bingung.”(Siyar A’lamin Nubala’: 14/20)

Dalam riwayat lain beliau berkata:

قَالَ أَبُو مَنْصُور بن الْوَلِيد الْحَافِظ فِي رِسَالَة لَهُ إِلَى الزنجاني انبأنا عبد الْقَادِر الْحَافِظ بحران أَنبأَنَا الْحَافِظ أَبُو الْعَلَاء أَنبأَنَا أَبُو جَعْفَر بن أبي عَليّ الْحَافِظ قَالَ سَمِعت أَبَا الْمَعَالِي الْجُوَيْنِيّ وَقد سُئِلَ عَن قَوْله {الرَّحْمَن على الْعَرْش اسْتَوَى} فَقَالَ كَانَ الله وَلَا عرش وَجعل يتخبط فِي الْكَلَام فَقلت قد علمنَا مَا أَشرت إِلَيْهِ فَهَل عنْدك للضرورات من حِيلَة فَقَالَ مَا تُرِيدُ بِهَذَا القَوْل وَمَا تَعْنِي بِهَذِهِ الْإِشَارَة فَقلت مَا قَالَ عَارِف قطّ يَا رباه إِلَّا قبل أَن يَتَحَرَّك لِسَانه قَامَ من بَاطِنه قصد لَا يلْتَفت يمنة وَلَا يسرة يقْصد الفوق فَهَل لهَذَا الْقَصْد الضَّرُورِيّ عنْدك من حِيلَة فنبئنا نتخلص من الفوق والتحت وبكيت وَبكى الْخلق فَضرب الْأُسْتَاذ بكمه على السرير وَصَاح ياللحيرة وخرق مَا كَانَ عَلَيْهِ وانخلع وَصَارَت قِيَامَة فِي الْمَسْجِد وَنزل وَلم يجبني إِلَّا يَا حَبِيبِي الْحيرَة الْحيرَة والدهشة الدهشة فَسمِعت بعد ذَلِك أَصْحَابه يَقُولُونَ سمعناه يَقُول حيرني الْهَمدَانِي 

“Al-Hafidz Abu Manshur bin Al-Walid di dalam risalahnya kepada Az-Zanjani berkata, telah menceritakan kepadaku Abdul Qodir  Al-Hafidz  di Harron, telah menceritakan kepadaku Abul  ‘Ala’, telah menceritakan kepadaku Abu Ja’far Al-Hafidz, dia berkata,’Aku mendengar Abul Ma’ali ditanya tentang firman Allah:
الرَّحْمَن عَلَى الْعَرْش
“Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy” (QS, Thoha: 5) Maka dia menjawab,’Allah telah ada sedangkan’Arsy belum ada. Dia mulai bicara serampangan. Maka aku berkata,’Aku telah tahu apa yang kamu maksud. Apakah engkau memiliki jawaban untuk suatu keharusan ini?’ Maka dia menjawab,’Apa maksudmu dan Isyarat apa ini? Aku menjawab,’Tidak  seorang arif pun yang berdo’a ,’Ya Tuhan!’ kecuali sebelum menggerakkan lisannya, telah ada dalam hatinya niat. Dia tidak menoleh ke kanan dan ke kiri, Ia menghendaki arah atas. Maka apakah engkau memiliki cara jitu untuk menghindari kepastian ini? Beritahulah  kami , agar selamat dari pemahaman arah atas dan bawah?’ Lalu akupun menangis  dan orang-orang pun ikut menangis, maka sang ustadz memukulkan lengan bajunya ke ranjang dan berteriak kebingungan. Dia merobek dan melepas yang ada di kepalanya dan terjadilah ‘kiyamat’ di masjid pada hari itu. Dia pun turun sambil berkata,’Wahai kekasihku,  jawabannya hanya bingung dan pusing. Setelah itu, aku mendengar para muridnya berkata,’Kami mendengar dia berkata,’Al-Hamdzani telah membuatku bingung.’”(Al-Uluwwu no. 582 hal. 259, dinilai shohih oleh Syaikh Al-Albani dalam Mukhtashor Al-‘Uluwwu hal. 277)

Maka demikianlah, ketika Abul Ma’ali menolak sifat istiwa’ Allah di atas ‘Arsy, lalu Al-Hamdzani menanyakan kepadanya kenapa orang-orang kalau berdo’a selalu menengadahkan tangan menuju ke atas, yang menunjukkan bahwa Allah berada di atas Arsy terpisah dari hambanya, Maka Abul Ma’ali merasa bingung dan tidak bisa memberikan jawaban. Pada akhirnya, beliaupun rujuk kepada pemahaman salaf dan menetapkan sifat istiwa’ Allah di atas ‘Arsy sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah sendiri dalam Al-qur’an dan dikabarkan oleh Rosul-Nya dalam hadist yang shohih.

Tentang ruju’nya Abul Ma’ali Al-Juwaini ini, Imam Dzahabi menceritakan:

وحكى أبو عبد الله الحَسَن بن العبّاس الرُّستميّ فقيه إصبهان، قال: حكى لنا أبو الفتح الطَّبرّي الفقيه، قال: دخلتُ على أبي المعالي في مرضه، فقال: اشهدوا عليَّ أنّي قد رجعتُ عن كلّ مقالةٍ تخالف السَّلف، وأنّي أموت على ما تموت عليه عجائز نيسابور.

“Abu Abdullah Al-Hasan bin Al-Abbas ar-Rustami ahli fiqih Ashfahan menceritakan, dia berkata, ‘Telah menceritakan kepada kami Abul Fattah At-Thobari ahli fiqih, dia berkata,’Aku mungunjungi Abul Ma’ali ketika dia sakit, dia berkata,’Saksikanlah olehmu, sesungguhnya aku telah ruju’ dari setiap ucapan yang menyelisihi salaf, dan sesungguhnya aku akan mati di atas aqidah para sesepuh Naisabur.”(Tarikh Al-Islam: 10/424)

Oleh Abu Hasan as-Syihaby
Mendung ba’da Ashar di kawasan pantura kabupaten Lamongan Jatim, Senin, 26 Robi’uts Tsani 1438 H/ 23 Januari 2017 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jazakumullah atas kunjungan dan perhatian anda. Komentar yang bijak adalah kehormatan kami.