Kullu (كُلُّ) Bermakna Sebagian? - Permata Salafus Sholih

Breaking

Meniti Aqidah dan Manhaj Para Nabi dan Salafus Sholeh

Anda diperbolehkan mengkopi paste ayat, hadist dan terjemahannya tanpa menyebutkan sumbernya serta diperbolehkan untuk menyebarkan artikel-artikel di blog ini dengan menyertakan sumbernya, namun anda dilarang menyebarkannya dengan mengeditnya dan mengakui sebagai tulisan anda dengan tujuan komersil atau non komersil

Rabu, 21 Desember 2016

Kullu (كُلُّ) Bermakna Sebagian?

Di kampungku, pada waktu pagi setelah Subuh sampai menjelang matahari  terbit, terdengar pengajian melalui pengeras suara dari beberapa musholla. Suaranya berkumandang memenuhi sudut-sudut kampung membangunkan orang-orang yang malas bangun.

Ada sisi positifnya, namun ,disayangkan, kadangkala pengajian itu membahas sebuah hadist tetapi diselewengkan menuju pemahaman hawa nafsu sang da’inya dan jauh dari makna hadist yang sebenarnya.

Salah satu contoh yang pernah aku dengar adalah pembahasan hadist berikut:

وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ

“Semua yang diada-adakan (perkara baru) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat, dan semua kesesatan adalah di neraka.” (HR. An-Nasa’i dalam as-Sunan as-Shoghir:1578, dishohikan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shohih al-Jami’ as-Shogir Wa Ziyadatuh no.1353)

Dalam pemabahasan sang da’i, kata kullu (كُلُّ) yang seharusnya bermakna semua, diartikan “sebagian” demi mendukung pemahamannya bahwa sebagian bi’ah itu baik dan tidak semua bid’ah itu sesat.

Kemudian sang  da’i dalam mendukung pemahamannya, mencari-cari pembenaran dengan membawakan dalil dari al-qur’an yang menyatakan bahwa kullu itu bermakna sebagian. Salah satu ayat yang disampaikan adalah:

فَلَمَّا رَأَوْهُ عَارِضًا مُسْتَقْبِلَ أَوْدِيَتِهِمْ قَالُوا هَذَا عَارِضٌ مُمْطِرُنَا بَلْ هُوَ مَا اسْتَعْجَلْتُمْ بِهِ رِيحٌ فِيهَا عَذَابٌ أَلِيمٌ (24) تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوا لَا يُرَى إِلَّا مَسَاكِنُهُمْ كَذَلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِينَ (25)

24. Maka ketika mereka melihat siksa itu berupa awan yang berarak menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka: "Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami". Namun, bahkan Itulah azab yang kamu minta supaya datang dengan segera (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih, 25. yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, Maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada kaum yang berdosa.(Qs. Al-Ahqof: 24-25)

Sang da’i mengartikan kata kullu (كُلُّ) dalam kalimat (تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْء) dengan “sebagian”, sehingga makna menurutnya adalah angin itu menghancurkan sebagian sesuatu bukan segala sesuatu karena menurutnya tidak segala sesuatu dihancurkan oleh angin dengan bukti rumah-rumah kaum itu masih berdiri  kokoh dan tidak hancur.

Kata kullu (كُلُّ) dalam ayat tersebut jika diartikan sebagian, maka ini adalah penyelewengan dari makna yang dikehendaki. Karena Sebenarnya kata kullu (كُلُّ) dalam ayat tersebut tetap bermakna semuanya, karena makna ayat itu adalah “Angin itu menghancurkan semua benda yang diperintahkan untuk dihancurkan oleh tuhannya”. Sebagai buktinya adalah  kalimat selanjutnya, yaitu kalimat “بِأَمْرِ رَبِّهَا” yang bermakna dengan perintah Robnya, sehingga rumah yang tidak diperintah untuk dihancurkan tetap berdiri dan tidak roboh. Dan inilah pemahaman para ulama salafus sholih.

Imam Ibnu Jarir at-Thobari rohimahullah berkata:

(بَلْ هُوَ مَا اسْتَعْجَلْتُمْ بِهِ رِيحٌ فِيهَا عَذَابٌ أَلِيمٌ تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا) [سورة الأحقاف: 24-25] ، أي: كلّ شيء أُمِرَتْ به

“Namun, bahkan Itulah azab yang kamu minta supaya datang dengan segera (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih. Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya. Yakni segala sesuatu yang diperintah untuk dihancurkan (Jami’ul Bayan: 12/512)
Begitu pula orang yang seaqidah dengan sang da’i dalam masalah aqidah penta’wilan asma’ wa sifat, juga berpendapat demikian. Al-Maturidi berkata:

أي: عند من عاينها وتأملها عنده أنها تدمر كل شيء، لا تبقي شيئًا على وجه الأرض؛ لشدتها وقوتها، لكنها لا تجاوز أمر ربها؛ ألا ترى أنها لا تدمر هودًا وأتباعه، وهم فيهم وبقرب منهم،

“Yaitu bagi yang menyaksikan dan memperhatikan secara langsung, akan tahu bahwa angin itu menghancurkan segala sesuatu, tidak tersisa sedikitpun di permukaan bumi ini karena kedahsyatan dan kekuatan angin. Namun Ia tidak melampaui perintah Robnya, tidakkah engkau lihat bahwasanya ia tidak menghancurkan Nabi Hud dan para pengikutnya sedangkan mereka bersama dan dekat dengan mereka orang-orang kafir.”(Tafsir al-Maturidi: 9/253)
    Selain ayat tersebut, sang da’i juga berdalil dengan ayat lain.

أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا (79)

79. Adapun kapal itu adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut, maka aku ingin merusakkannya, karena di depan mereka ada seorang raja yang akan merampas semua kapal yang baik.(QS. Al-Kahfi: 79)

Sang da’i memaknai kalimat “كُلَّ سَفِينَةٍ” dalam ayat tersebut dengan sebagian kapal bukan semua kapal, karena menurutnya raja yang dzolim itu hanya merampas kapal yang baik dan melepaskan kapal yang cacat.

Pemahaman seperti ini adalah pemahaman yang berdasar hawa nafsu belaka dan tidak berlandaskan pemahaman para salaf bahkan pemahaman yang menyelewengkan makna dari makna yang sesungguhnya. Karena makna yang seungguhnya dari kalimat tersebut adalah semua kapal yang baik, hal ini dapat dilihat dari dua sisi:

1.    Dalam kalimat  “كُلَّ سَفِينَةٍ” ini terdapat kaidah membuang kata sifat (hadzfu an-na’at) karena adanya dalil lain yang mendukungnya. Kalimat “كُلَّ سَفِينَةٍ”, sebenarnya ada na’at atau sifat yang dihilangkan, yaitu ‘صَالِحَةٍ’(yang bagus), sehingga arti kalimat tersebut adalah semua kapal yang bagus. Dan dalil ayat yang mendukungnya adalah ucapan khidhir,’Maka aku ingin merusakkannya (فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَ)’.

Syaikh Muhammad Amin al-Sinkiti rohimahullah berkata:

ظَاهِرُ هَذِهِ الْآيَةِ الْكَرِيمَةِ أَنَّ ذَلِكَ الْمَلِكَ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ، صَحِيحَةً كَانَتْ أَوْ مَعِيبَةً، وَلَكِنَّهُ يُفْهَمُ مِنْ آيَةٍ أُخْرَى أَنَّهُ لَا يَأْخُذُ الْمَعِيبَةَ، وَهِيَ قَوْلُهُ: فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا [18 \ 79] ، أَيْ: لِئَلَّا يَأْخُذَهَا، وَذَلِكَ هُوَ الْحِكْمَةُ فِي خَرْقِهِ لَهَا الْمَذْكُورِ فِي قَوْلِهِ: حَتَّى إِذَا رَكِبَا فِي السَّفِينَةِ خَرَقَهَا [18 \ 71] ، ثُمَّ بَيَّنَ أَنَّ قَصْدَهُ بِخَرْقِهَا سَلَامَتُهَا لِأَهْلِهَا مِنْ أَخْذَ ذَلِكَ الْمَلِكِ الْغَاصِبِ ; لِأَنَّ عَيْبَهَا يُزَهِّدُهُ فِيهَا ; وَلِأَجْلِ مَا ذَكَرْنَا كَانَتْ هَذِهِ الْآيَةُ الْكَرِيمَةُ مِثَالًا عِنْدَ عُلَمَاءِ الْعَرَبِيَّةِ لِحَذْفِ النَّعْتِ، أَيْ: وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ صَحِيحَةٍ غَيْرِ مَعِيبَةٍ بِدَلِيلِ مَا ذَكَرْنَا.
“Dzohir dari ayat yang mulia ini adalah bahwasanya raja tersebut merampas semua kapal baik yang bagus maupun yang cacat. Namun, difahami melalui ayat yang lain, bahwa dia hanya merampas yang cacat saja, yaitu ucapan khidhir,’Maka aku ingin merusakkannya (فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَ)’, artinya supaya dia tidak merampasnya, dan itulah hikmah dari perbuatannya melubangi kapal yang tercantum dalam firman-Nya,’Hingga tatkala keduanya menaiki kapal lalu Khidhr melobanginya.(حَتَّى إِذَا رَكِبَا فِي السَّفِينَةِ خَرَقَهَا )’. Kemudian dia menjelaskan bahwa tujuan melubanginya adalah menyelamatkan kapal dari rampasan sang raja dzolim. Karena kecacatan kapal membuat raja tersebut meninggalkannya. Karena alasan yang telah kami sebutkan inilah maka ayat yang mulia ini menjadi contoh bagi para ulama’ Bahasa Arab untuk membuang na’at (hadzfu an-na’at). Artinya,’Dan ada di depan mereka raja yang mengambil semua kapal yang bagus serta tidak cacat dengan dalil yang telah kami sebutkan.”(Adwa’ul Bayan:3/340)

Dalam menjelaskan surat Al-Isro’ ayat ke-58, Beliau juga berkata:

وَغَايَةُ مَا فِي هَذَا الْقَوْلِ حَذْفُ النَّعْتِ مَعَ وُجُودِ أَدِلَّةٍ تَدُلُّ عَلَيْهِ، وَنَظِيرُهُ فِي الْقُرْآنِ قَوْلُهُ تَعَالَى: وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا [18 \ 79] ، أَيْ كُلَّ سَفِينَةٍ صَالِحَةٍ ; بِدَلِيلِ أَنَّ خَرْقَ الْخَضِرِ لِلسَّفِينَةِ الَّتِي رَكِبَ فِيهَا هُوَ وَمُوسَى يُرِيدُ بِهِ سَلَامَتَهَا مِنْ أَخْذِ الْمَلِكِ لَهَا ; لِأَنَّهُ لَا يَأْخُذُ الْمَعِيبَةَ الَّتِي فِيهَا الْخَرْقُ وَإِنَّمَا يَأْخُذُ الصَّحِيحَةَ
“Dan maksud dari ucapan ini adalah membuang sifat (hadzfu an-na’at) dengan adanya dalil lain yang menunjukkannya. Dan padanan ayat ini (QS. al-Isro’: 58) dalam al-Qur’an adalah firman Allah ta’ala ‘وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا ‘ artinya semua kapal yang bagus, dengan dalil bahwa perbutan Khidhir melubangi kapal yang dia dan Musa tumpangi adalah untuk meyelamatkannya dari  rampasan sang raja karena dia tidak mengambil yang cacat berlobang, dia hanya mengambil  yang bagus.”(Adwa’ul Bayan:3/163)

2.    Adanya riwayat-riwayat bacaan yang menetapkan adanya kata sifat “صَالِحَةٍ” (yang bagus) setelah kata ‘سَفِينَةٍ’.

a.    Riwayat bacaan Ibnu Abbas.
قَالَ سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ: فَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ يَقْرَأُ (وَكَانَ أَمَامَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ صَالِحَةٍ غَصْبًا)
“Sa’id bin Jubair berkata,’Lalu Ibnu Abbas membacanya:
وَكَانَ أَمَامَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ صَالِحَةٍ غَصْبًا
‘Dan di depan mereka ada raja yang akan merampas semua kapal yang bagus’”(HR. Bukhori: 4725, Muslim: 2380)

b.    Riwayat bacaan Ibnu Mas’ud.
Ibnu Jarir at-Thobari rohimahullah meriwayatkan:
حدثنا الحسن بن يحيى، قال: أخبرنا عبد الرزاق، قال: أخبرنا معمر، عن قتادة، قال: هي في حرف ابن مسعود: (وكان وراءهم ملك يأخذ كل سفينة صالحة غصبا) .
“Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Yahya, dia berkata, ‘telah mengabarkan kepada kami Abdur Rozzaq, ‘dia berkata, ‘telah mengabarkan kepada kami ma’mar dari Qotadah, dia berkata,’ Dalam bacaan Ibni Mas’ud adalah:
وكان وراءهم ملك يأخذ كل سفينة صالحة غصبا
‘Dan di depan mereka ada seorang raja yang akan merampas semua kapal yang bagus.”’(Jami’ul Bayan: 18/84)

c.    Riwayat bacaan Ubay bin Ka’ab.
Ibnu Jarir at-Thobari rohimahullah meriwayatkan:
حدثنا ابن حميد، قال: ثنا سلمة، عن ابن إسحاق، قال: ثني الحسن بن دينار، عن الحكم بن عيينة، عن سعيد بن جبير، عن ابن عباس، قال: في قراءة أُبيّ: (وكان وراءهم ملك يأخذ كل سفينة صالحة غَصْبًا) وإنما عبتها لأرده عنها.
“Telah menceritakan kepadaku Ibnu Humaid, dia berkata, telah menceritakan kepadaku Salamah, dari Ibnu Ishaq, dia berkata, telah menceritakan kepadaku al-Hasan bin Dinar, dari al-Hakam bin ‘Uyainah, dari  Said bin Jubair, dia berkata,’Bacaan Ubay adalah:
وكان وراءهم ملك يأخذ كل سفينة صالحة غَصْبًا
‘Dan di depan mereka ada seorang raja yang akan merampas semua kapal yang bagus.’ Dan sesungguhnya aku merusaknya adalah demi memalingkannya dari kapal itu.”(Ibid)

Oleh sebab itu, maka makna kullu dalam hadist yang menjadi pembahasan di sini tetaplah bermakna semua atau setiap, sehingga semua bid’ah adalah sesat dan semua kesesatan adalah di neraka.

Seandainya Kata kullu dalam hadist tersebut dimaknai sebagian maka maknanya akan menjadi sebagian bid’ah adalah sesat dan sebagian kesesatan adalah di neraka. Dan pemaknaan seperti ini adalah pemaknaan yang menyeleweng dari maksud yang sebenarnya. Sebab, kalau sebagian kesesatan di neraka maka sebagian kesesatan yang lain berarti berada di surga. Dan hal ini jauh panggang dari api alias tidak mungkin. Wallahu a’lam bis showab.

Oleh Abu Hasan as-Syihaby
Pagi nan cerah di kawasan pantura kabupaten Lamongan Jatim, Sabtu, 3 Robi’ul Awwal 1438 H/ 3 Desember 2016 M

Referensi
1.    Al-Qur’an Al-Karim, Maktabah Syamelah
2.    Adwa’ul Bayan Fi Idhohi al-Qur’an Bi al-Qur’an, Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar bin Abdul Qodir al-Janki as-Sinqiti, Dar al-Fikr li at-Tiba’ah wa an-Nasyr wa at-Tauzi’, Beirut, Libanon, 1415 H/1995 M, Maktabah Syamelah.
3.    As-Sunan as-Sugro, Abu Abdirrohman Ahmad bin Syu’aib an-Nasa’i, tahqiq Abdul Fattah Abu Ghuddah, Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyyah, Aleppo, cet. Kedua, 1406 H/1986 M, Maktabah Syamelah.
4.    Jami’ul Bayan Fi Ta’wil al-Qur’an, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at-Tobari, tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, Muassasah ar-Risalah, cet. Pertama, 1420 H/2000 M, Maktabah Syamelah.
1.    Shohih al-Bukhori, Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhori, tahqiq Muhammad bin Zuhair bin Nasir an-Nasir, dar Thouqi an-Najah, cet. Pertama, 1422 H, Maktabah Syamelah.
2.    Shohih al-Jami’ as-Shoghir wa Ziyadatuh, Muhammad Nashiruddin al-Albani, al-Maktab al-Islami, Maktabah Syamelah.
5.    Shohih Muslim, Muslim bin al-Hajjaj Abul Hasan al-Qusyairi, Tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, Dar Ihya’ut Turots, al-Arobi, Beirut, Maktabah Syamelah.
6.    Tafsir al Maturidi (Ta’wilat Ahlis Sunnah), Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Abu Manshur al-Maturidi, tahqiq dr. Majdi Basalum, Darul Kutub Ilmiyyah, Beirut Libanon, cet. Pertama, 1426 H/2005 M, Maktabah Syamelah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jazakumullah atas kunjungan dan perhatian anda. Komentar yang bijak adalah kehormatan kami.